Sastra lahir dari
proses kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya ketegangan
atas kebudayaannya. Sastra sering juga ditempatkan sebagai potret sosial. Ia
mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu. Ia dipandang juga
memancarkan semangat zamannya. Dari sanalah, sastra memberi pemahaman yang khas
atas situasi sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan-harapan individu yang
sesungguhnya merepresentasikan kebudayaan bangsanya. Dalam konteks itulah,
mempelajari sastra suatu bangsa pada hakikatnya tidak berbeda dengan usaha
memahami kebudayaan bangsa yang bersangkutan. Dengan perkataan lain,
mempelajari kebudayaan suatu bangsa tidak akan lengkap jika keberadaan
kesusastraan bangsa yang bersangkutan diabaikan. Di situlah kedudukan
kesusastraan dalam kebudayaan sebuah bangsa. Ia tidak hanya merepresentasikan
kondisi sosial yang terjadi pada zaman tertentu, tetapi juga menyerupai
pantulan perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakatnya.
Dalam sejarah sastra Indonesia, karya
sastra bisa dibagi berdasarkan periodisasinya. Periodisasi adalah pembagian
kronologi perjalanan sastra atas masanya, biasanya berupa dekade-dekade. Pada
dekade-dekade tertentu dikenall angkatan-angkatan kesusastraan, misalnya
Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan ’45, Angkatan ‘66 dan
Angkatan 2000. Sekarang kita akan membahas sastra pada masa Jepang dan
kemerdekaan.